Sabtu, 03 Maret 2012

Surat untuk Kamu


Langit Jakarta sedang sendu-sendunya. Sangat tidak baik untuk seorang pengidap melankolisme kronis. Bangun tidur rasanya seperti mimpi buruk. Entah suatu kebetulan atau memang sugesti, bagi saya langit mendung itu seperti seorang wanita merindukan kehangatan kekasihnya yang terhalang sesuatu. Melankolis sekali.

Ketika membuka pintu kamar hal yang saya lihat adalah 3 menara pencakar langit di kejauhan. Ketika mentari bersinar, menara-menara terlihat megah. Begitu mendung, kemegahannya tak berarti apapun. Saya lalu tertunduk. Dada saya terasa sesak. Penuh kerinduan. Amat sendu. Begitu rapuh.

Perasaan ini mungkin terlalu berlebihan jika tidak dialami sendiri. Saya mengerti. Saya tahu kamu tidak paham dengan maksud saya. Saya tahu kamu adalah seorang terpelajar dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Yang paling saya takutkan adalah mengetahui kamu tidak mengerti bahwa tingkat kecerdasan tidak memengaruhi kedalaman perasaan. Perasaan itu murni dari nurani. Bukan dari hapalan atau aljabar.

Kamu adalah matahari saya. Kamu yang selama ini menghangatkan saya. Kamu adalah alasan saya bertahan. Kamu adalah segalanya buat saya. Tetapi saya tidak tahu bahwa ternyata kamu begitu berbeda dari apa yang saya bayangkan dan harapkan. Kamu bukan matahari saya yang dulu. Saya tidak mengenal kamu yang sekarang.

Saya ini terlalu ekstrovert untuk menyimpan keresahan di dalam hati dan diam. Saya ini bukan introvert yang tidak bisa berbicara apa adanya tentang isi hati saya. Saya ini sanguinis sejati yang tidak berpikir 1000 kali untuk mengatakan cinta dan sayang saya kepada kamu. Saya ini melankolis kronis yang sangat rapuh tanpa kehadiran kamu. Saya ini sungguh di luar kriteria wanita idaman kamu.

Kamu semakin terkejut mendapati saya sedemikian kompleksnya ya? Ya, saya ini debu yang kompleks yang bisa terbang kapan saja tetapi entah mengapa lebih memilih untuk tinggal. Tanpa penjelasan. Itulah saya.

Saya minta maaf ya untuk semua kesalahan saya kepada kamu. Keegoisan saya untuk memiliki kamu. Kenaifan saya mencintai kamu berlebihan. Kekanak-kanakan saya bersikap kepada kamu. Kamu mungkin bukan jodoh saya. Saya harus terima itu meskipun rasanya terlalu berat. Benar ya ilmu ikhlas itu paling susah diamalkan.

Mungkin mendung akan lama tinggal di Jakarta. Seperti kesedihan saya kehilangan kamu. Mungkin Jakarta akan diterpa hujan deras. Seperti perasaan saya yang hancur. Tapi itulah tahapan yang harus saya lalui untuk bangkit lagi. Terima kasih untuk kenangan indah bersama. Saya melepas kamu.