Minggu, 20 Desember 2009

Apatis: Apakah Sebuah Pilihan Akhir?

Akhir-akhir ini otak saya semakin menginginkan saya untuk menjadi apatis terhadap segala sesuatu. Meski hati nurani ini belum sinkron dengan otak, saya rasa dia pun sudah mulai jenuh untuk semua bentuk kepedulian.

Kepedulian saya selalu dianggap sebagai salah satu bentuk campur tangan, itulah mengapa otak saya ini menginginkan-bahkan memaksa untuk menjadi apatis.

Namun, setiap kali saya mencoba apatis, hati ini masih saja berusaha untuk peduli. Sekali waktu, saya menuruti hati saya untuk peduli lagi, namun memang hanya sakit hati saja yang saya dapatkan.

Apatis.Apatis.Apatis.
Itu saja yang selalu mengambang di pikiran saya. Otak saya sudah tak mampu lagi menahan kepedulian saya. Saya dianggap bodoh oleh pikiran saya sendiri. Teramat bodoh malah, hingga otak saya ini muak.

Susah memang untuk menjadi apatis kalau seseorang sejak masa kecilnya telah terbiasa untuk peduli dengan lingkungan sekitar. Inilah yang selalu menjadi perdebatan antara otak dan hati saya.

Otak saya berpikir logis tanpa rasa, sedangkan hati ini melankolis penuh dengan rasa, hingga akhirnya saya sendiri pun merasa sakit.

Untuk beberapa saat, saya tinggalkan tulisan saya ini, saya iseng googling tentang apatis, lalu saya temukan sebuah tulisan yang berjudul "Apatis: Musuh Kehidupan Publik". Saya menjadi kembali berpikir keras tentang apatis.
Di satu sisi, apatis itu zona aman, tapi di sisi lain itu malah menghancurkan esensi kita sebagai manusia yang terlahir sebagai mahluk sosial.

Mungkin memang apatis bukan sebuah pilihan akhir untuk disenangi publik. Hanya mungkin kita harus tahu kapan harus apatis dan kapan harus peduli.
Semangat!

Jumat, 18 Desember 2009

Apatis: My Next Style!

Yah, inilah yg paling gw benci dari diri gw.. Too much dream..
Mimpi, mimpi, dan mimpi..
Mungkin bagi orang lain mimpi adalah kunci untuk bisa menaklukkan dunia. Tapi buat gw, mimpi membuat gw ga bisa bedain mana khayalan dan kenyataan, dan saat gw bisa bedainnya, gw sakit.
Gw sendiri, honestly, paling ga boleh bermimpi, berencana, mengharapkan, membayangkan, atau apapunlah sejenis itu.
Bukan bakat gw di urusan permimpian.
Bakat gw tuh selalu menginversikan semua yg gw inginkan di mimpi, rencana, harapan dan bayangan gw.

Jadi gw sebenarnya udah tau kalau gw ga boleh mimpi, berencana, apalagi berharap.
TAPI, teteeeeeup aja gw selalu biarin diri gw dikuasai mimpi-mimpi.
Padahal udah pengalaman banget, akhirnya gw selalu sakit.
Lama-lama sih gw bakalan jadi apatis deh.
Dan memang gw berharap gw apatis. Gw sebodo amat ama dunia. Gw sendiri.
Gw merasa sendiri itu lebih baik.
Karena ketika gw sendiri, gw bisa lebih menahan segala mimpi-mimpi dan harapan yang memaksa untuk menguasai gw.
Ini dia yg buat gw kadang pengen benar-benar sendiri, dalam arti denotasi dan konotasi.
Gw pengen ngeistirahatin jiwa gw yg udah sakit parah ini.
Tapi gimana??
Gw selalu kalah ama suara hati gw, padahal otak gw udah rasional banget.
Jadi kesel sendiri ama diri gw.
Dan memang gwlah yang paling pas jadi sasaran kekeselan gw sendiri.
Gw yang selalu jatuh ke lubang yg sama.
Gw yang selalu gak bisa memenangkan akal sehat gw.
Gw yang selalu merasa semuanya akan berubah.
Gw yang selalu merasa masih banyak waktu.
Gw yang selalu berpikir ini melankolisnya gw aja.
Gw yang selalu menjadi bumerang buat diri gw sendiri.
Mimpi. Bahagia. Jatuh. Sakit.
Siklus rutin hidup gw.

Gw pengen jadi orang yang apatis, orang yang perlu memikirkan apa kata orang lain, orang yang sebodo amat, dan menjadi gw yg pake akal sehat, bukan hati yang lemah.

Gw pengen jadi orang APATIS!

Minggu, 06 Desember 2009

Rahasia : Antara Kepercayaan dan Kepedulian

Mungkin bagi sebagian orang dipercaya untuk menjaga rahasia cukup berat, mengingat bergosip sudah menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari manusia.
Aku sendiri takut dipercayakan untuk menjaga rahasia. Bukan karena ingin membocorkan rahasia itu, tapi kadang sebagai manusia aku bisa tidak sadar dalam berbicara.
Karena itu, aku selalu berusaha untuk melupakan rahasia yang dipercayakan padaku.
Mungkin ini termasuk bentuk peremehan pada orang lain.
Tapi memang ini cara terbaik menurut aku untuk tidak "kelepas bicara".

Kali ini ada satu rahasia yang, entahlah, aku sendiri tidak berminat dengannya.
Aku bahkan tidak peduli.
Ok, dulu aku peduli, tapi kepedulianku disalahartikan.
Sekarang, aku tidak peduli lagi.
Hanya satu yang aku sesalkan, kenapa si pemilik rahasia sendiri tidak menyimpan rahasia itu dengan baik.
Orang-orang sering mengatakan, "Dinding pun mendengar".
Dinding, benda mati, yang tidak bisa menceritakan apapun masih harus dihindari.
Apalagi mahluk hidup, manusia.
Mata manusia melihat, otaknya langsung mencerna.
Ditambah sedikit pendengaran, berarti segalanya.

Sedikit yang kusesalkan, kenapa harus menuduh aku.
Seperti tadi aku bilang, aku bahkan tidak peduli lagi.
Meski dia sakit karena rahasianya, aku tidak peduli.
Karena dia tidak menginginkan aku untuk peduli.
Aksi tutup mulutnya pun tak membuatku peduli.
Karena aku sudah letih untuk suatu bentuk kepedulian.

Namun satu hal yang dia harus tahu, orangtuaku adalah segalanya bagiku.
Ketika aku butuh teman curhat, merekalah yang selalu ada.
Aku rasa dia pun seperti itu.
Ketika aku sudah muak untuk peduli pada dia, orangtuakulah yang menjadi tempatku bersandar.

Aku tidak menyukai dia, tapi bukan berarti aku berniat menyakitinya.
Aku memilih untuk menjaga kepercayaan darinya daripada memedulikannya.
Dia harus tahu itu!